Other Menu

Friday 10 May 2013

HUKUM PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM



HUKUM PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DALAM PANDANGAN ISLAM

A.    Pergaulan Laki-laki dengan Perempuan
Kalau kita cermati ternyata banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya), laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Ada sebagian ulama yang mewajibkan wanita untuk tidak keluar dari rumah kecuali dengan muhrimnya sehingga ke masjid pun mereka dimakruhkan, sebagian lagi ada yang mengharamkannya, karena takut fitnah dan sebagainya.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ummul mu’minin Aisyah, r.a “Seandainya Rasulullah Saw mengetahui apa yang diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau melarangnya pergi ke masjid.”
Akan tetapi kiranya sudah tidak samar lagi bagi kita bahwa wanita juga perlu keluar rumah ke tengah-tengah masyarakat untuk belajar, bekerja dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika hal tersebut itu terjadi sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki yang boleh jadi teman sekolah, guru, kawan kerja, staf, dokter dan sebagainya.[1]
Maka akan muncul dalam benak kita habis dapat masalah di atas apakah setiap pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu terlarang atau haram …. ? Apakah mungkin perempuan hidup tanpa laki-laki, lebih-lebih pada zaman yang kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah wanita itu selamanya dikurung dalam sangkar, meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah penjara ? mengapa laki-laki diberi kebebasan yang tidak diberikan pada wanita ? mengapa persangkaan jelek itu selalu dialamatkan pada wanita padahal kualitas keagamaan, pikiran dan hati nurani wanita tidak lebih rendah dari pada laki-laki.
Wanita sebagaimaan laki-laki punya agama yang melindunginya, akal yang mengendalikannya dan hati nurani yang mengontrolnya. Wanita sebagaimana dan laki-laki juga punya keinginan yang mendorongnya pada syetan yang dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk rayu mereka.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua peraturan yang ketat untuk wanita itu benar-benar dari hukum Islam ? Lalu bagaimana sikap kita seharusnya? Dalam kata lain, bagaimana pandangan syariat terhadap masalah ini atau bagaimana ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang shohih bukan hanya  laki-laki dari si Zaid dan si Amir.
Kalau kita kembalikan pada permasalahan itu semua disebabkan karena berbagai faktor penyebab diantaranya ketika dalam memandang berbagai persoalan agama. Umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifroth (berlebihan) dan tatrith (mengabaikan) jarang sekali kita temukan sikap tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu keistimewaan dan kecermelangan manhaj Islam dan dan umat Islam. Sikap yang demikian juga sama ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat dalam hal ini ada dua golongan masyarakat yang saling bertentangan dan menzalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti tradisi barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus yang mereka jauh dari Allah Swt yang telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitabnya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepadanya.
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain[2], yaitu tradisi timur, bukan tradisi barat, walau dalam banyak hal mereka telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada agamanya, termasuk dalam hal sangka kepada wanita.
Bagaimanapun pandangan-pandangan di atas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu Al-Qur’an dan petunjuk Nabi Saw serta sikap dan pandangan para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.


B.     Peninjauan Lafadz
Kalau kita lihat dari segi lafadz bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki dengan perempuan istilah asing yang dimasukkan dalam “kamus Islam” istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang silam.
Dan baru dikenal dalam peradaban zaman sekarang ini tampaknya ini merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi yang tidak menyenangkan perasaan umat Islam barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqo’ (perjumpaan) muqobalah (pertemuan) laki-lakid an perempuan.
Akan tetapi bagaimanapun Islam tidak menetapkan hukum secaar umum mengenai masalah ini. Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya atau bahaya yang dikhawatirkannya, maka dalam menyikapi atau bahaya yang dikhawatirkannya, maka dalam menyikapi masalah ini sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi.
Kalau kita melirik pada zaman Rasulullah Saw kaum wanita biasa menghadiri sholat berjamaah. Beliau menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shof (barisan) belakang sesudah shof laki-laki.
Pada zaman Rasulullah (jarak tempat sholat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kayo, kain maupun lainnya. Pada mulanya laku-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk maupun keluar maka nabi bersabda :
لَوْ اَنَّكُمْ جَعَلْتُمْ هَذَ الْبَابَ للِنِّسَاءِ
“Alangkah baiknya kalau jadikan pintu ini untuk wanita”
Dari sinilah mula-mula diperlakukannya pintu khusus untuk wanita dan sapai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah “pintu wanita”. Kaum wanita pada zaman Nabi Saw juga biasa menghadapi sholat idain (hari raya idul fitri dan idul adha). Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Aliyah berkata :


كُنَّا نُؤْمَرُ بِالْخُرُوْجِ فِى الْعِيْدَيْنِ وَلبْمُخْبَأَةُ وَلبْبِكْرُ
Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan sholat dan mendengarkan khotbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis”.
Kaum wanita zaman Rasulullah juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama dengan kaum laki-laki di sisi Nabi Saw mereka biasa menanyakan beberapa soal agama yang umumnya malu ditanyakan kaum wanita. Aisyah r.a. pernah menguji wanita-wanita Anshor yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadho dan sebagainya.[3]
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta berdakwah menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar sebagaimana firman Allah Swt.
 Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(At-Taubah : 71).
Maka dari keterangan di atas dapat kita katakan bagaimana mungkin logika Al-Qur’an dan Islam akan menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya ? jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan menjatuhkan hukuman kepadanya selamanya-lamanya padahal dia wanita tidak berbuat dosa.
C.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram melainkan jaiz (boleh) bahkan hal ini kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat amal sholeh kebajikan, perjuangan atau yang lainnya baik dari laki-laki atau perempuan.
Namun kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syari’ahnya yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran dan kita juga tidak perlu memindahkan pelanggaran dan kita juga tidak perlu memindahkan budaya barat kepada kita yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dengan kebaikan serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa. Dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut diantaranya:
1.      Menahan pandangan dari kedua belah pihak artinya tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak boleh lama-lama memandang tanpa ada keperluan;
2.      Pihak wanita harus harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara’ yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan, jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh.
3.      Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki
4.      Menjauhkan diri dari bau-bauan yang membangkitkan syahwat
5.      Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerjasama, tidak menjadikan fitnah.

Daftar Pustaka
Yusuf Qordhawi. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il. 1315 H. Turki : Daru Ath-Thaba’ah Al-Amiroh.


[1] Yusuf Qordhowi, Fatwa-fatwa Kontempore  (Jakarta : Gema Insani, 1995), h. 180.
[2] Ibid., h. 203.
[3] Ibid., h. 208.

Artikel Terkait

1   komentar

Anonymous said... 28 August 2013 at 01:53
Tremendous things here. I am very satisfied to see your article.
Thank you so much and I'm looking ahead to contact you.
Will you kindly drop me a e-mail?

My web blog Tips Isteri Idaman
Reply Delete

Post a Comment

Cancel Reply