Other Menu

Friday 10 May 2013

Jual Beli

BAB I
PENDAHULUAN

Alhamdulillah, pemakalah mengucapkan rasa syukur kepada Allah. Segala puji bagi Allah yang dengan pertolongan-Nya akhirnya makalah ini bisa terselesaikan dan mudah-mudahan dapat berguna untuk pembelajaran bagi para mahasiswa.
Dalam makalah ini membahas tentang jual beli, di mana jual beli bagian dari muamalat yang masih tetap eksis, baik sejak zaman para Nabi hingga masa sekarang ataupun masa yang akan datang.
Untuk lebih detailnya marilah kita kaji makalah ini.


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).
B.     Rukun Jual Beli
1.      Penjual
2.      Pembeli
3.      Barang yang dijual
4.      Harga
5.      Ucapan ijab qabul
C.    Syarat Penjual dan Pembeli
1.      Berakal; tidak sah jual beli orang gila
2.      Dengan kehendaknya sendiri; tidak sah orang yang dipaksa dengan tidak benar
3.      Keadaannya tidak mubazzir (pemboros) karena harta orang yang mubazzir itu ditangan walinya
4.      Baligh; tidak sah jual beli anak-anak
D.    Syarat Barang dan Harga
1.      Suci barangnya; tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-lainnya yang najis
2.      Ada manfaatnya; jual beli yang ada manfaatnya sah, sedang yang tidak ada manfaatnya tidak sah
3.      Dapat dikuasai; maka tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual-beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan ditangkap
4.      Milik sendiri, atau barang yang sudah dikuasakannya; tidak sah menjual barang orang lain dengan tidak seizinnya
5.      Mestilah diketahui kadar barang/benda dan harga itu, begitu juga jenis dan sifatnya

E.     Syarat Ijab Qabul (Sighat)
Ijab artinya perkataan penjual, misalnya: “Saya jual barang ini sekian”, sedang qabul artinya kata si pembeli, misalnya; “Saya terima (saya beli) dengan harga sekian”.
Syarat sah ijab qabul
1.      Jangan ada yang membatas/memisahkan, misalnya pembeli diam saja setelah si penjual menyatakan ijab atau sebaliknya
2.      Jangan disela dengan kata-kata lain
3.      Jangan berta’liq, yaitu seperti kata penjual: “Aku jual sepeda motor ini pada saudara dengan harga Rp. 110.000,- setelah kupakai sebulan lagi
4.      Jangan pula memakai jangka waktu, yakni seperti katanya: “Aku jual sepeda ini dengan harga Rp. 10.000,- kepada saudara dalam waktu sebulan/seminggu dan sebagainya.[1]
F.     Macam-macam Jual-Beli
1.      Jual beli yang menjurus kepada riba
Di sini terdapat sesuatu yang terjadi antara dua orang yang berjual beli, yaitu jika salah satunya membatalkan yang lain dengan penambahan atau pengurangan. Atau jika salah satunya membeli sesuatu yang telah dijual kepadanya dengan lebih atau kurang dari yang lain. Dalam hal ini, antara keduanya dapat terjadi jual beli ribawi tanpa disengaja. Misalnya, seseorang menjual suatu barang kepada orang lain dengan harga sepuluh dinar tunai. Kemudian orang tersebut membelinya dengan harga dua puluh dinar dengan pembayaran kemudian. Jika penjualan kedua ini dikaitkan dengan penjualan pertama, maka yang terjadi si penjual ini memberikan barang seharga sepuluh dinar dengan memperoleh imbalan sebanyak dua puluh dinar dengan pembayaran kemudian. Cara seperti ini dikenal dengan nama jual beli bertempo (pembayaran dilakukan kemudian).



Pembelian makanan dengan harga kemudian
Termasuk dalam persoalan tersebut adalah silang pendapat fuqaha berkenaan dengan orang yang memesan makanan dengan harga tertentu. Ketika sampai masanya, ternyata pada si penjual tidak tersedia makanan yang bisa diserahkan kepada si pembeli dengan harga yang dibayarnya (secara tunai) sebagai pengganti makanan yang menjadi tanggungannya.
Menurut Syafi’i, perbuatan seperti itu dibolehkan dan ia menganggap tidak ada perbedaan, baik si penjual membeli makanan dari si pembeli yang seharusnya menerima makanan ataupun dari orang lain.
Sedang Malik melarang perbuatan tersebut dan menganggap sebagai jalan menuju penjualan makanan sebelum sempurna karena penjual mengembalikan sesuatu makanan yang menjadi tanggungannya kepada si pembeli. Jadi, seolah-olah, ia menjual makanan tersebut sebelum selesai.[2]
Menjual makanan sebelum menerimanya
Tentang menjual makanan sebelum menerimanya, para ulama bersepakat melarangnya kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Usman al-Batti. Kesepakatan pendapat atas pelarangannya itu disebabkan karena sahnya larangan tersebut dari Rasulullah Saw, dari hadits Malik dari Nafi dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ (اخرجه الد
“Barang siapa membeli makanan maka hendaklah ia tidak menjualnya hingga ia menerimanya” (HR. Ad-Darimi).
2.      Jual Beli Tersamar
Yakni jual beli yang diharamkan karena penipuan (al-gharar). Penipuan yang terdapat pada barang yang dijual dari segi ketidaktahuan, ada beberapa segi: dari segi ketidaktahuan terhadap barang yang diakadkan, atau penentuan akad itu sendiri, atau dari segi ketidaktahuan terhadap nilai harga dan barang yang dijual, atau terhadap masa pembayaran harga, jika ada perjanjian masa pembayaran, atau dari segi ketidaktahuan tentang wujud harga atau ketidakmungkinan menguasainya yang berpangkal keada ketidakmungkinan menyerahkannya, atau dari segi ketidaktahuan tentang keselamatan harga, yakni kelangsungannya.
Syariat mengetengahkan hal-hal yang mengandung unsur gharar ini. Bersama ini sebagai kebiasaan yang dilakukan orang-orang jahiliyah dalam masalah ini:
a.       Larangan menjualbelikan barang dengan cara hashah
Orang jahiliyah dahulu melakukan akad jual beli tanah yang tidak jelas luasnya. Mereka melemparkan hashah (batu kecil) pada tempat akhir di mana batu jatuh, itu tanah yang dijual.
b.      Larangan tebak selam
Orang-orang jahiliyah juga melakukan jual beli dengan cara menyelam. Barang yang ditemukan di laut waktu menyelam itulah yang iperjual-belikan. Mereka biasa melakukan akad si pembeli menyerahkan harga/bayaran sekalipun tak mendapat apa-apa dan terkadang si penjual menyerahkan barang yang ditemukan sekalipun jumlah barang tersebut mencapai beberapa kali lipat dari harga yang harus ia terima.[3]
c.       Jual beli Nitaj
Yaitu akad untuk hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil. Diantaranya menjualbelikan susu yang masih berada di mammae (kantong susu)-Nya.
d.      Jual beli Mulasanah
Yaitu dengan cara si penjual dan si pembeli melamas (menyentuh) baju salah seorang mereka (saling menyentuh) atau barangnya. Setelah itu jual beli dilaksanakan tanpa dikethaui keadaannya atau saling ridha.

e.       Jual beli Munabazah
Yakni kedua belah pihak saling mencela barang yang ada pada mereka ini dan dijadikan dasar jual beli, yang tak saling ridha.
f.       Jual beli Muhaqalah
Muhaqalah ialah jual beli tanaman dengan takaran makanan yang dikenal.
g.      Jual beli muzabanah
Muzabanah ialah jual beli buah kurma yang masih di pohonnya dengan kurma.
h.      Jual beli mukhadharah
Mukhadharah ialah jual beli kurma hijau belum nampak mutu kebaikannya (jon)
i.        Jual beli bulu domba di tubuh domba hidup sebelum dipotong.
j.        Jual beli susu padat yang masih berada di susu.
k.      Jual bali Habalul Ijabah (anak unta yang masih berada dalam perut). Di dalam shahih Bukhari Muslim dikatakan : Dahulu orang-orang jahiliyah melakukan jual beli domba potong kepada Habalul Habalah.
Habalul Habalah ialah , bahwa unta betina mengandung diprutnya kemudian diambil yang keluar. Rasulullah kemudian mencegah jual beli ini karena mengandung gharrar, ketidakjelasan yang diakadkan.
3.      Jual Beli yang Dilarang karena Merugikan atau Menipu (Curang)
Riwayat yang didengar berkaitan dengan persoalan ini ialah larangan Nabi SAW, tentang penjualan seseorang atas penjualan orang lain, penawaran atas penawaran orang lain, mencegat dagangan orang-orang yang berkendaraan (dan membelinya sebelum sampai ke kota), penjualan orang kota atas orang desa, serta larangan mengelabui.
a.       Jual Beli atas Jual Bali Orang Lain
Dalam merinci hadist-hadist tersebut, para ulama berbeda pendapat walaupun tidak berjauhan.


Sabda Nabi SAW yang berbunyi :
لاَ يَبْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى يَبْعِ بَعْضٍ (اخرجه البخا رى ومسلم)
“Janganlah sebagian dari kamu menjual (sesuatu) atas penjualan orang lain” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Malik menafsirkan sama dengan maksud larangan Nabi SAW, agar seseorang tidak mengadakan penawaran atas tawaran orang lain. Yakni dalam keadaan si penjual sudan cenderung kepada penawar dan sedikit lagi dicapai kesepakatan antara keduanya. Misalnya, memilih emas. Syarat menanggung cacat, atau cuci tangan dari cacat.
Dalam memahami hadist tersebut, Abu Hanifah juga mengemukakan tafsiran yang sama dengan Malik.
Syafi’I berpendapat bahwa maksud hadist tersebut ialah dalam hal jual beli sesudah terjadi lisan, orang lain untuk menawarkan barangnya yang lebih baik. Hal ini didasarkan atas pendapatnya bahwa terjadinya jual beli adalah dengan berpisahnya kedua belah pihak (penjual dan pembeli)
b.      Mencegat Barang Dagangan di Luar Kota
Para Fuqaha berselisih pendapat mengenai penngertian larangan Nabi SAW untuk mencegat (dengan maksud memborong) barang-barang dagangan orang-orang berkendaraan yang akan menjualnya ke kota.
Malik berpendapat bahwa yang dimaksud dengan larangan tersebut adalah orang-orang pasar, agar si pencegat tidak memonopoli pembelian dagangan tersebut dengan harga murah tanpa orang-orang pasar lainnya. Larangan ini berlaku manakala pencegatan itu dekat (dengan kota). Tetapi jika tampat tersebut jauh (dari kota), maka tidak ada larangan. Dan menurut mazhab Maliki, ukuran dekat adalah sejauh enam mil.
Sedang menurut Syafi’I, larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga si penjual agar tidak tertipu oleh si pencegat dagangan karena tidak mengetahui harga di kota. Kata Syafi’i, “ Jika jula beli seperti itu terjadi, maka pemilik dagangan boleh memilih sesukanya antara melanjutkan jual beli atau menolaknya.
Pendapat Syafi’i tersebut didaarkan atas nash dalam hadist Abu Hurairah r.a. yang sahih dari Rasulullah SAW :
لاَتَتَلقُّوْا الْجَلَبَ مَهَنْ تَتَلَقًّى مِنْهُ شَيْئًا فَاشْتَرَاهُ فَصَاحِبُهُ بِالْخِيَارِ اِذَا اَتَى السُّوْقَ (الخر جهو مسلم وابوداوود)
“Janganlah kamu mencegat barang dagangan. Barang siapa mencegatnya, kemudian membelinya, maka pemilik barang dagangan tersebut boleh memilih (antara melanjutkan jual beli atau tidak) manakala ia telah sampai di pasar“ (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
c.       Jual Beli dengan Mengecoh
Tentang larangan Nabi SAW. Terhadap jual beli kecohan (najasy), para ulama sepakat melarangnya. Kecohan yang dimaksud adalah apabila seseorang menambah harga suatu barang, padahal tidak ada keinginan untuk membelinya. Perbuatan itu dimaksudkan untuk menguntungkan penjual dan merugikan pembeli.
Menurut Malik, tipuan tidak ubahnya cacat (aib). Sedang bagi pembeli boleh memilih. Jika ingin mengembalikan, ia boleh mengembalikan. Dan jika ingin menahan , ia boleh menahannya.
Sedang Abu Hanifah dan Syafi’I berpendapat bahwa jika jual beli itu terjadi, maka berdosa. Tetapi jual beli itu dibolehkan.
Pendapat jumhur ulama dalam hal ini adalah, larangan tersebut dikeluarkan karena adanya suatu hal pada barang yang dilarang yang mengandung kebatalan, seperti melarang riba dan penipuan. Jika perintah datang karena suatu hal yang di luar, maka tidak mengandung kebatalan.
4.      Larang Jual Beli Pada Waktu Ibadah
Dalam syarak, larangan tersebut hanya terjadi pada saat datang kewajiban menunaikan shalat jumat, firman Allah :
 
“ Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalah jual beli.” (Q.S Al-Jumuah:9)
Masalah ini telah menjadi ijma’ ulama yakni larangan berjual beli pada saat azan sudah diserukan sesudah tergelincirnya matahari, ketika itu imam sudah berada diatas mimbar.
Tentang siapa yang menanggung pembatalan tersebut, Malik berpendapat bahwa tanggung jawab tersebut dibebankan pada orang yang berkewajiban menunaikan shalat jumat, bukan atas orang yang tidak berkewajiban.
Aturan-aturan dasar golongan Zhahili menghendaki agar setiap pembelian dibatalkan.[4]


KESIMPULAN

Jual beli secara lughowi adalah saling menukar. Menurut syariah ialah pertukaran harta atas dasar saling rela.

Rukun Jual Beli
1.      Penjual
2.      Pembeli
3.      Barang yang dijual
4.      Harga
5.      Ucapan ijab qabul

Syarat Penjual dan Pembeli
1.      Berakal; tidak sah jual beli orang gila
2.      Dengan kehendaknya sendiri; tidak sah orang yang dipaksa dengan tidak benar
3.      Keadaannya tidak mubazzir (pemboros) karena harta orang yang mubazzir itu ditangan walinya
Baligh; tidak sah jual beli anak-anak


[1] M. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap (Semarang: Toha Putra, 2003), h. 403-406.
[2] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terjemahan, Drs. Imam Ghozali Sa’id, MA (Jakarta: Pustaka Amani: 2007) h. 402.
[3] Ibid., 410.
[4] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, terjemah H. Kamaludin A. Marzuki (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2007), h. 76

Artikel Terkait

2   komentar

mantap artikelnya. sangat bermanfaat..

www.kiostiket.com
Reply Delete
I really like what you guys are usually up too.
This type of clever work and coverage! Keep up the excellent works guys I've included
you guys to my own blogroll.

Here is my homepage: magento themes
Reply Delete

Post a Comment

Cancel Reply