Other Menu

Friday, 10 May 2013

Filsafat Islam al-Razi



PENDAHULUAN

Berkat rahmat Allah Swt, penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Tak lupa disampaikan salawat dan salam untuk Muhammad Rasulullah Saw.
Makalah ini diambil dari beberapa referensi buku-buku filsafat Islam pada makalah ini dibahas salah satu tokoh filsafat Islam dari Timur yaitu Abu bakar Ar-Razi yang membahas tentang biografi karya-karya/karir intelektual dan pemikiran filsafat.
Telah kita ketahui bahwa Al-Razi adalah filusuf yang berani dan ajarannya yang terkenal tentang lima kekal, yatu Allah Ta’ala, jiwa universal, materi pertama, ruang absolute da masa absolut. Pemikiran filsafatnya tidak sistematis dan tidak teratur, namun pada masanya ia dipandng sebagai pemikir ulung yang tegas dan liberal di dalam Islam.
Ia seorang yang bertuhan dan mengakui Tuhan Maha Bijak, tetapi ia tidak mengakui wahyu-Nya/ajaran-Nya. Tentang keberaniannya dalam penggunaan akal sehingga ukuran untuk menilai baik dan buruk, benar dan jahat, atau berguna dan tidak berguna.
Selebihnya akan dibahas pada pembahasan makalah, untuk itu kritik dan saran kami harapkan dari Bapak Dosen dan teman-teman guna melengkapi makalah ini.

PEMBAHASAN

A.    Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya al-Razi. Di barat dikenal dengan Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada pemerintahan Dinasti Saman (204 - 395 H). Pada masa mudanya ia menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Al-Razi adalah seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tak heran jika ia tampak menonjol dibandingkan denga rekan-rekan samasanya, bahkan ia sangat tenar.
Pada masa Mansyur Ibn Ishaq Ibn Ahmad Ibn Asad sebagai gubernur Ray, Al-Razi diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit di Baghdad untuk menentukan lokasi ia mementingkan kebersihan dengan melakukann menggantungkan daging yang baru pada beberapa tempat yang dicadangkan sebagai tempat rumah sakit dan memilih tempat yag daging menjadi busuk paling lambat.[1]
Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin dengan memberikan pengobatan kepada mereka secara Cuma-Cuma. Hitti mengatakan bahwa Al-Razi seorang dokter yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim, dan juga seorang penulis yang paling produktif.
Kemasyuran Al-Razi sebagai seorang dokter tidak saja di dunia Timur, tapi juga di Barat, ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen.
Dia meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H (27 Oktober 925 M) setelah menderita sakit katarak yang dia tolak untuk diobati dengan pertimbangan sudah cukup banyak dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak ingin melihatnya lagi. Salah satu penyebab matanya katarak karena ia sangat rajin menulis dan membaca.[2]

B.     Karir Intelektual Al-Razi
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan enuli sehingga tidak mengherankan ia banyak menhasilkan karya tulis.
Dalam autobiografinya pernah dikatakan bahwa ia telah menulis tidak kurang  dari 200 buah karya tulisnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya Al-Raazi dimaksud adalah:
1.      Kitab al-Asrar (bidang Kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Geard of Cremon)
2.      Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16)
3.      Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid)
4.      Kitab al-Judar wa al Hasban (tentang analisa penyakit cacar dan campak)
5.      Al-Thibb al-Ruhani
6.      Al-Sirah al-Falsafiyyah
7.      Amarah al-Iqbal al-Dawlah
8.      Kitab al-Ladzdzah
9.      Kitab al-‘Ilm al-Illahi
10.  Maqalah fima ba’d al-Thabi’yyah, dan
11.  Al-Shukuk ‘ala proclus.[3]

C.    Pemikiran filsafat
1.      Logika
Al-Razi termasuk seorang rasionalis murni. Ia hanya mempercayai terhadap kekuatan akal. Bahkan pemujaan Al-Razi terhadap akal tampak jelas pada halaman pertama dari bukunya Al-Tibb. Ia mengatakan; “Tuhan segala puji bagi-Nya, yang  telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita.”
Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi dari kita, denga alat itu pula kita dapat memperoleh pengtetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertingi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikia mulia dan penting, maka kita tidak boleh meremehkannya, kita tidak boleh menentukannya sebab ia adalah penentu/tidak boleh mengendalikan, sebab ia merupakan pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah tetap kita harus kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus sesuai perintahnya.[4]

2.      Metafisika
Filsafat Al-Razi dikenal dengan ajarannya “Lima Kekal”, yaitu:
a.       Allah Ta’ala
Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telh ada. Karena itu, alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi pertama kekal, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.
b.      Jiwa Universal
Jiwa universal merupakan al-mabda’ al-qadim alsany (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak sulit diketahui karena ia tanpa bentuk yang berasal dari jiwa universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai na;uri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Sedangkan materi pertama tanpa fsik, maka Tuhan datang menolong roh agar jiwa itu dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian kesenangan-kesenangannya materil untuk sementara waktu.
c.       Materi pertama
Materi pertama menurut Al-Razi adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom itu tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi itu kekal karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan. Materi ang padat sekali menjadi substansi bumi, yang lebih renggang daripada unsur bumi menjadi unsur air, yag yang lebih renggang lagi udara, dan yang terenggang api.
d.      Ruang absolut
Ruang menurut Al-Razi dibedakan menjadi dua macam: ruang partikular atau relatif, dan ruang universal atau mutlak.
Yang pertama terbatas dalam terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, ia tidak akan ada tanpa adanya maujud, karenanya itu tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada di dalamnya. Sedangkan yang kedua, universal, tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang bagi Al-Razi, bisa saja berisi wujud / yang buka wujud, karena adanya kehampaan bisa saja terjadi.

e.       Masa Absolut
Adapun waktu, menurut Al-Razi adalah substansi yang mengalir (Jauhar Yasri) dan bersifat kekal. Al-Razi membagi waktu kepada dua bagian, yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif (Al-Mahsur atau al-waqt). Al-Dahr adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama seklai dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman itu merupakan konsekwensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal pula. Al-Mahsur/al-Waqt bersifat partikular dan tidak kekal, serta terbatas kare aia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Oleh sebab, jenis waktu ini dapat disifati oleh angka, atau tegasnya bisa diukur, seperti satu hari, satu bulan satu tahun, dan seterusnya.[5]

D.    Teologi Al-Razi
Meskipun Al-Razi seorang rasionalis murnia ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui wahyu dan kenabian. Berikut gaya dan pokok-pokok penolakan Al-Razi. Bantahan Al-Razi terhadap kenabian dengan alasan:
1.      Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibuthkan nabi?
2.      Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap orang lahir dengan kecerdasan yang sama, perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen)
3.      Para nabi saling bertentangan. Apabila mereka berbicara atas nama satu tuhan mengapa implementasi  mereka terhadap pertentangan? Setelah menolak enabian kemudian Al-Razi mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum yahudi Kristen ataupun Majusi. Pengikatan manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasaan ulama yang mengabdi negara dan manifestasi lahiriah agama, upaacara-upacara, dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif.[6]


PENUTUP

Dari makalah yang kami buat, dapat disimpulkan bahwa Al-Razi yaitu seorang filsuf yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Bahkan dalam sejarahnya dialah satu-satunya pemikir rasional murni sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka dan terlalu berani dalam mengemukakan gagasan-gagasan filosofnya.
Sehubungan dengan penolakan terhadap wahyu dan kenabian serta tidak mengakui adanya semua agama, maka dipandang dari segi teologi Islam adalah belum muslim karena keimanan yang dipeluknya tidak konsekuen dalam pengertian tidak utuh.
Demikian penyajian makalah tentang Abu Bakar Al-Razi. Dari hal yang sedikit ini semoga dapat bermanfaat bagi kita. Kurang lebihnya kami mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA


Zar, Sirajuddin, Haji. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Mustofa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1999. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.



[2] Prof. Dr. H. Sirajudin Zar, M.A. Filsafat Islam: Fiilosof dan Filsafatnya, (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 116.
[3] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA., Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 25.
[4] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 118.
[5] Ibid, h. 26.
[6] Ibid, h. 124.

Artikel Terkait

1   komentar

Post a Comment

Cancel Reply