HUKUM
PERGAULAN
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DALAM
PANDANGAN ISLAM
A.
Pergaulan Laki-laki dengan Perempuan
Kalau kita cermati ternyata banyak perkataan
dan fatwa seputar
masalah (boleh
tidaknya), laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Ada sebagian ulama yang
mewajibkan wanita untuk tidak keluar dari rumah kecuali dengan muhrimnya sehingga ke masjid pun mereka
dimakruhkan, sebagian lagi ada yang mengharamkannya, karena takut fitnah dan
sebagainya.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan
ummul mu’minin Aisyah, r.a “Seandainya Rasulullah Saw mengetahui apa yang
diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau melarangnya pergi ke
masjid.”
Akan tetapi kiranya sudah tidak samar lagi bagi
kita bahwa wanita juga perlu
keluar rumah ke tengah-tengah masyarakat untuk belajar, bekerja dan
bersama-sama di pentas kehidupan. Jika hal tersebut itu terjadi sudah tentu
wanita akan bergaul dengan laki-laki yang boleh jadi teman sekolah, guru, kawan
kerja, staf, dokter dan sebagainya.[1]
Maka akan muncul dalam benak kita habis dapat
masalah di atas apakah setiap pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu terlarang
atau haram …. ? Apakah mungkin perempuan hidup tanpa laki-laki, lebih-lebih
pada zaman yang kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah wanita
itu selamanya dikurung dalam sangkar, meskipun berupa sangkar emas, ia tak
lebih sebuah penjara ? mengapa laki-laki diberi kebebasan yang tidak diberikan
pada wanita ? mengapa persangkaan jelek itu selalu dialamatkan pada wanita
padahal kualitas keagamaan, pikiran dan hati nurani wanita tidak lebih rendah
dari pada laki-laki.
Wanita sebagaimaan laki-laki punya agama yang
melindunginya, akal yang mengendalikannya dan hati nurani yang mengontrolnya.
Wanita sebagaimana dan laki-laki juga punya keinginan yang mendorongnya pada syetan
yang dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk rayu mereka.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua
peraturan yang ketat untuk wanita itu benar-benar dari hukum Islam ? Lalu bagaimana sikap kita
seharusnya? Dalam kata lain, bagaimana pandangan syariat terhadap masalah ini
atau bagaimana ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang shohih bukan hanya laki-laki dari si Zaid dan si Amir.
Kalau kita
kembalikan pada permasalahan itu semua disebabkan karena berbagai faktor
penyebab diantaranya ketika dalam memandang berbagai persoalan agama. Umumnya
masyarakat berada dalam kondisi ifroth (berlebihan) dan tatrith (mengabaikan)
jarang sekali kita temukan sikap tawassuth (pertengahan) yang merupakan
salah satu keistimewaan dan kecermelangan manhaj Islam dan dan umat Islam.
Sikap yang demikian juga sama ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita
muslimah di tengah-tengah masyarakat dalam hal ini ada dua golongan masyarakat
yang saling bertentangan dan menzalimi kaum wanita.
Pertama,
golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti
tradisi barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari
fitrah yang lurus yang mereka jauh dari Allah Swt yang telah mengutus para
rasul dan menurunkan kitab-kitabnya untuk menjelaskan dan menyeru manusia
kepadanya.
Kedua, golongan
yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain[2],
yaitu tradisi timur, bukan tradisi barat, walau dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada
agamanya, termasuk dalam hal sangka kepada wanita.
Bagaimanapun pandangan-pandangan
di atas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu Al-Qur’an dan
petunjuk Nabi Saw serta sikap dan pandangan para sahabat yang merupakan
generasi muslim terbaik.
B. Peninjauan Lafadz
Kalau kita lihat
dari segi lafadz bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan
antara laki-laki dengan perempuan istilah asing yang dimasukkan dalam “kamus
Islam” istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang
silam.
Dan baru dikenal
dalam peradaban zaman sekarang ini tampaknya ini merupakan terjemahan dari kata
asing yang punya konotasi yang tidak menyenangkan perasaan umat Islam
barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqo’ (perjumpaan) muqobalah
(pertemuan) laki-lakid an perempuan.
Akan tetapi
bagaimanapun Islam tidak menetapkan hukum secaar umum mengenai masalah ini.
Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang
hendak diwujudkannya atau bahaya yang dikhawatirkannya, maka dalam menyikapi
atau bahaya yang dikhawatirkannya, maka dalam menyikapi masalah ini sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah
dipenjara atau diisolasi.
Kalau kita melirik
pada zaman Rasulullah Saw kaum wanita biasa menghadiri sholat berjamaah. Beliau
menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shof (barisan) belakang
sesudah shof laki-laki.
Pada zaman
Rasulullah (jarak tempat sholat) antara laki-laki dengan perempuan tidak
dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kayo, kain maupun
lainnya. Pada mulanya laku-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana
saja yang mereka sukai tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika
masuk maupun keluar maka nabi bersabda :
لَوْ
اَنَّكُمْ جَعَلْتُمْ هَذَ الْبَابَ للِنِّسَاءِ
“Alangkah baiknya
kalau jadikan pintu ini untuk wanita”
Dari sinilah
mula-mula diperlakukannya pintu khusus untuk wanita dan sapai sekarang pintu
itu terkenal dengan istilah “pintu wanita”. Kaum wanita pada zaman Nabi Saw
juga biasa menghadapi sholat idain (hari raya idul fitri dan idul adha). Imam
Muslim meriwayatkan dari Ummu Aliyah berkata :
كُنَّا
نُؤْمَرُ بِالْخُرُوْجِ فِى الْعِيْدَيْنِ وَلبْمُخْبَأَةُ وَلبْبِكْرُ
“Kami
diperintahkan keluar (untuk menunaikan sholat dan mendengarkan khotbah) pada
dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis”.
Kaum wanita zaman
Rasulullah juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama
dengan kaum laki-laki di sisi Nabi Saw mereka biasa menanyakan beberapa soal
agama yang umumnya malu ditanyakan kaum wanita. Aisyah r.a. pernah menguji
wanita-wanita Anshor yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami
agamanya seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi
junub, haid, istihadho dan sebagainya.[3]
Dalam kehidupan
bermasyarakat kaum wanita juga turut serta berdakwah menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan munkar sebagaimana firman Allah Swt.
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(At-Taubah
: 71).
Maka dari keterangan di atas
dapat kita katakan bagaimana mungkin logika Al-Qur’an dan Islam akan menganggap
sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita muslimah yang taat dan sopan itu
harus dikurung dalam rumah selamanya ? jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan
menjatuhkan hukuman kepadanya selamanya-lamanya padahal dia wanita tidak
berbuat dosa.
C. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram
melainkan jaiz (boleh) bahkan hal ini kadang-kadang dituntut apabila bertujuan
untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat amal sholeh
kebajikan, perjuangan atau yang lainnya baik dari laki-laki atau perempuan.
Namun kebolehan itu tidak berarti bahwa
batas-batas diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syari’ahnya yang
baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang
suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran dan kita juga tidak perlu
memindahkan pelanggaran dan kita juga tidak perlu memindahkan budaya barat
kepada kita yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dengan kebaikan serta
tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa. Dalam batas-batas hukum yang telah
ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut diantaranya:
1. Menahan
pandangan dari kedua belah pihak artinya tidak boleh melihat aurat, tidak boleh
memandang dengan syahwat, tidak boleh lama-lama memandang tanpa ada keperluan;
2. Pihak
wanita harus harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara’ yang
menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan, jangan yang tipis dan
jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh.
3. Mematuhi
adab-adab wanita muslimah dalam segala hal terutama dalam pergaulannya dengan
laki-laki
4. Menjauhkan
diri dari bau-bauan yang membangkitkan syahwat
5. Pertemuan
itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerjasama, tidak menjadikan
fitnah.
Daftar Pustaka
Yusuf
Qordhawi. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Al-Bukhari,
Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il. 1315 H. Turki : Daru Ath-Thaba’ah Al-Amiroh.
Thank you so much and I'm looking ahead to contact you.
Will you kindly drop me a e-mail?
My web blog Tips Isteri Idaman