PENDAHULUAN
Poligami merupakan suatu ikatan yang sakral dalam
membentuk sebuah keluarga. Pada dasarnya semua agama di dunia ini menganjurkan
penganutnya untuk melaksanakan perkawinan yang akan mengatur kehidupan serta
pergaulan laki-laki dan perempuan secara sah. Poligami merupakan salah satu
persoalan yang kontroverial dan paling banyak dibicarakan. Di satu sisi,
poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat
normative, psikologis, bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.[1]
Islam memperbolehkan poligami, akan tetapi Islam juga
memberikan batasan berpoligami, yaitu membatasi jumlah perempuan yang akan
dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan keturunan, pranata sosial, dan
kesiapan dari kaum laki-laki. Seorang laki-laki hanya boleh menikah maksimal
empat perempuan. Tentu saja dengan syarat, mampu memberi nafkah dan berlaku
adil.[2]
PEMBAHASAN
A.
Seorang
Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami)
Peraturan perkawinan poligami sudah
dikenal sebelum Islam di setiap masyarakat yang berperadaban tinggi maupun
masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini seorang laki-laki
diperbolehkan menikah dengan lebih dari seorang istri. Aturan seperti itu sudah
berlaku sejak dahulu pada masyarakat Cina, India, Mesir, Arab, Persia, Yahudi,
Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Autria, Belanda, Denmark, Swedia,
Inggris, Norwegia, dan lain-lain.[3]
Dalam masyarakat tertentu, poligami
tidak dibatasi, sedangkan dalam masyarakat lain dibatasi jumlahnya. Dalam masyarakat
dunia ketiga, para penguasa tidak dibatasi oleh ketetapan umlah istri yang
telah ditentukan.[4]
Sebagian ulama berpendapat bahwa
praktik poligami banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan
berperadaban tinggi. Plolgami jarang terjadi di lingkungan masyarakat yang
terbelakang karena mereka telah terbiasa memiliki seorang istri (monogamy),
terutama yang pekerjaannya berburu dan menumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan
ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju perkembangan
budaya dan peradaban suatu masyarakat.[5]
Montesquieu menulis: “Hukum ini
(perlakuan yang sama terhadap semua istri dalam poligami) juga berlaku di
kepulauan Maladewa, di mana laki-laki bebas untuk mengawini tiga orang isteri”.[6]
Montesquieu juga menulis: “BEberapa sebab tertentu juga mendorong orang-orang
Valentinia untuk mengizinkan poligami di Impeirum Romawi. Hokum ini yang begitu
tidak patut bagi iklim kita telah dihapuskan oleh Theodosius, Arcadius dan
Honorious.”[7]
B.
Sebab-sebab
Historis Poligami
Sebab dan apa hakikat poligami di
masa lalu adalah tirani dan dominasi kaum pria dan perbudakan atas kaum wanita.
Sebab akar daripadanya adalah system patriarchal karena kaum pria
menempati kedudukn mendominasi dan “mendaulati” kaum wanita maka ia menciptakan
segala adat dan peraturan-peraturan yang menguntungkan dirinya.[8]
Sensualitas dan dominasi kaum pria
yang tak dapat disangkal semata-mata belumlah cukup untuk menciptakan adat
poligami. Secara pasti sebab-sebab dan factor lain juga telah memberikan sumbangan
untuk menegakkannya sebagai suatu adat yang regular. Sebab-sebab lain yang
bersifat geografs, ekonomis, atau social selain sebab-sebab sensual dan selain
dari kegemaran akan variasi.[9]
C.
Peranan
Islam dalam Poligami
Islam bukanlah perancang poligami,
karena poligami telah ada berabad-abad sebelum datangnya Islam. Tidak pula
Islam menghapuskannya, karena dalam pandangan Islam ada problema-problema
masyarakat yang penyelesaiannya bergantung semat-mata pada poligami. Walaupun
demikian Islam membawa beberapa perbaikan pada adat kebiasaan ini.
- Pembatasan-pembatasan
Perbaikan pertama yang dilakukan
Islam ialah menetapkan pembatasan-pembatasan atasnya. Sebelum kedatangan Islam
tidak ada batasan jumlah istri. Seorang pria boleh mempunyai ratusan istri, namun
Islam menetapkan batas maksimum atas jumlahnya, dan seorang pria tidak
diizinkan mempunyai lebih dari empat isteri.
- Keadilan
Perbaikan lainnya yang dilakukan
Islam ialah menetapkan suatu syarat bhawa tidak boleh ada diskriminasi dalam
keadaan bagaimanapun juga, antara para istri itu maupun anak-anak mereka.
Al-Qur’an memerintahkan dengan sangat tegasnya: “. . .seandainya kamu takut
tidak akan dapat belaku adil, maka (kawinilah) seoang saja . . . “ (QS.
An-Nisa’ [4]: 3)
Keadilan adalah kebajikan manusia
yang paling luhur. Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut manusia
untuk mencpai kekuatan moral yang paling tinggi. Rasulullah melaksanakan
keadilan sebaik-baiknya terhadap semua istri beliau dan tidak pernah
membeda-bedakan terhadap istri beliau yang mana pun, bahkan dalam keadaan sakit
beliau yang berakhir dengan wafatnya, ketika beliau tidak kuat untuk bergerak
ke sana ke mari, bertindak dengan keadilan yang penuh dan sempurna.
D.
Pandangan
Mengenai Poligami
Mengenai poligami terdapat pro dan
kontra mengenai hokum pelaksanaannya. Bahkan Syeikh Muhammad Abduh dengan
sengit melarang poligami, beliau
mengatakan bahwa poligami merupakan sumber penyebab kerusakan di Mesir. Dengan
tegas beliau mengatakan bahwa tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan
pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok masih dipraktekkan secara
luas.[10]
Akan tetapi
mayoritas ulama memperbolehkan poligami. Bahkan tidak sedikit ulama yang
melakukan praktek poligami. Poligami dalam Islam memang diperbolehkan dan tidak
dilarang, asalkan dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Adil yang dimaksud
ialah adil dalam pemberian nafkah, baik nafkah bathin ataupun nafkah lahir,
kasih sayang, tempat tinggal, ataupun yang lain seperti yang diisyaratkan dalam
poligami menurut Islam.
Beberapa penulis
wanita Eropa bahkan mengisyaratkan diperbolehkannya poligami, seperti Anne Road
menulis dalam surat kabar Stren Mail edisi 10 Mei 1901 sebagai berikut:
“Kesibukan gadis-gadis kita di rumah
sebagai pelayan atau seperti pelayan itu lebih baik dan lebih ringan resikonya
daripada bekerja di pabrik-pabrik yang akan mengotori kehormatan hidupnya sepanjang masa. Alangkah indahnya,
seandainya negara kita seperti negara Islam, rasa malu dan kesucian diri
menopang pelayan dan budak menikmati hidup yang menyenangkan. Mereka
diperlakukan seperti keluarga sendiri. Sungguh, ironi bagi negara Inggris,
membuat gadis-gadisnya cermin kehinaan akibat seringnya bergaul bebas dengan
lelaki. Kenapa kita tidak berbuat agar mereka kembali bekerja sesuai dengan
fitrah untuk menjaga kehormatannya?” [11]
Dari pernyataan di
atas dapat disimpulkan bahwa penulis setuju akan poligami, dikarenakan sisi
baik dari poligami yang mampu memberikan penopang bagi perempuan. Akan tetapi
perempuan mana yang akan rela membagi suami yang dicintai untuk orang lain.
Setiap manusia khususnya perempuan pasti ingin memiliki suami dan tidak akan
pernah rela membaginya dengan orang lain.
E.
Hak
Perempuan dalam Poligami
- Memiliki Rumah Sendiri
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai
rumah sendiri. Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al-Mughni
bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu
tumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab
kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya.
- Menyamakan Para Istri dalam Masalah Giliran
Setiap isteri harus mendapatkan jatah giliran yang
sma. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan
bahwa Nabi SAW memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau bila menggilir
istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru berhenti di rumah
istri yang mendapat giliran itu.
3. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju
rumah yang lain
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
menyatakan tidak diibolehkannya masuk
rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sakit.
Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia
harus mengganti hak istri yang gilirannya diambila malam itu. Apabila tidak
menginap, maka tidak perlu menggantinya.
- Batasan Malam Pertama setelah Pernikahan
Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas
Rahimahullahu’Anhu bahwa termasuk sunnah bila seorang menikah dengan gadis,
suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginapn
selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir istri-istri yang lain.
- Wajib Menyamakan Nafkah
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan
suatu kewajiban bagi seorang suami. Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh
Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk
istri-istrinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa
ditakar/ditimbang karena terlalu sedikit,beliau tetap membaginya tangan
pertangan.
- Undian Ketika Safar
Bila seorang suami hendak melakukan
safar dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan
siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut jika suami membawa lebih dari
satu istrinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan
diantara mereka ketika tidak dalam keadaan safar.
- Tidak Wajib Menyamakan Cinta dan Jima’ Diantara Para Istri
Seorang suami tidak dibebankan
kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ diantara para istrnya. Yang wajib
bagi dia memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil. Penulis Fiqh
Sunnah menyarankan, hendaknya, seorang suami memenuhi kebutuhan jiwa istrinya
sesuai kadar kemampuannya.[12]
F.
Perempuan
dan Konsep Poligami
Sesungguhnya
poligami adalah bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, karena pada
dasarnya, tidak seorang perempuan pun yang rela untuk dimadu. Jika ada
perempuan yang rela dimadu, maka hal tersebut tidak lepas dikarenakan dua hal;
pertama, kedalaman cintanya terhadap sang suami, maka ia akan merasakan kesedihan
yang amat mendalam dan sangat menyiksa dirinya. Dan yang kedua, untuk menjaga
martabat keluarga.
Sudah menjadi
fitrah perempuan untuk cenderung mendominasi atas hati suami. Karenanya, ketika
seorang istri melihat suaminya berdampingang dengan istri yang lain, akan
membakar emosi dan mengakibatkan kesakitan hati yang sangat luar biasa. Pada
akhirnya menyulut api permusuhan dan meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan dan
etika kemanusiaan yang seharusnya dijaga.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Rasyid Ridha, Muhammad.1993. Jawaban Islam
Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan Wanita. Surabaya: Mathba’ah
al-Manar
Mutahhari, Martezi. 1985. Wanita Dan Hak-Haknya
Dalam Islam. Bandung : Pustaka-Perpustakaan Salman ITB
Aj-Jahrani, Musfir. 1996. Poligami Dalam Berbagai
Persepsi. Jakarta : Gema Insani Press
0 komentar
Post a Comment