Other Menu

Friday, 10 May 2013

POLIGAMI



PENDAHULUAN

Poligami merupakan suatu ikatan yang sakral dalam membentuk sebuah keluarga. Pada dasarnya semua agama di dunia ini menganjurkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan yang akan mengatur kehidupan serta pergaulan laki-laki dan perempuan secara sah. Poligami merupakan salah satu persoalan yang kontroverial dan paling banyak dibicarakan. Di satu sisi, poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normative, psikologis, bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.[1]
Islam memperbolehkan poligami, akan tetapi Islam juga memberikan batasan berpoligami, yaitu membatasi jumlah perempuan yang akan dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan keturunan, pranata sosial, dan kesiapan dari kaum laki-laki. Seorang laki-laki hanya boleh menikah maksimal empat perempuan. Tentu saja dengan syarat, mampu memberi nafkah dan berlaku adil.[2]

PEMBAHASAN

A.    Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami)

Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum Islam di setiap masyarakat yang berperadaban tinggi maupun masyarakat yang masih terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan lebih dari seorang istri. Aturan seperti itu sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat Cina, India, Mesir, Arab, Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Autria, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, dan lain-lain.[3]
Dalam masyarakat tertentu, poligami tidak dibatasi, sedangkan dalam masyarakat lain dibatasi jumlahnya. Dalam masyarakat dunia ketiga, para penguasa tidak dibatasi oleh ketetapan umlah istri yang telah ditentukan.[4]
Sebagian ulama berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Plolgami jarang terjadi di lingkungan masyarakat yang terbelakang karena mereka telah terbiasa memiliki seorang istri (monogamy), terutama yang pekerjaannya berburu dan menumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju perkembangan budaya dan peradaban suatu masyarakat.[5]
Montesquieu menulis: “Hukum ini (perlakuan yang sama terhadap semua istri dalam poligami) juga berlaku di kepulauan Maladewa, di mana laki-laki bebas untuk mengawini tiga orang isteri”.[6] Montesquieu juga menulis: “BEberapa sebab tertentu juga mendorong orang-orang Valentinia untuk mengizinkan poligami di Impeirum Romawi. Hokum ini yang begitu tidak patut bagi iklim kita telah dihapuskan oleh Theodosius, Arcadius dan Honorious.”[7]
B.     Sebab-sebab Historis Poligami

Sebab dan apa hakikat poligami di masa lalu adalah tirani dan dominasi kaum pria dan perbudakan atas kaum wanita. Sebab akar daripadanya adalah system patriarchal karena kaum pria menempati kedudukn mendominasi dan “mendaulati” kaum wanita maka ia menciptakan segala adat dan peraturan-peraturan yang menguntungkan dirinya.[8]
Sensualitas dan dominasi kaum pria yang tak dapat disangkal semata-mata belumlah cukup untuk menciptakan adat poligami. Secara pasti sebab-sebab dan factor lain juga telah memberikan sumbangan untuk menegakkannya sebagai suatu adat yang regular. Sebab-sebab lain yang bersifat geografs, ekonomis, atau social selain sebab-sebab sensual dan selain dari kegemaran akan variasi.[9]

C.    Peranan Islam dalam Poligami

Islam bukanlah perancang poligami, karena poligami telah ada berabad-abad sebelum datangnya Islam. Tidak pula Islam menghapuskannya, karena dalam pandangan Islam ada problema-problema masyarakat yang penyelesaiannya bergantung semat-mata pada poligami. Walaupun demikian Islam membawa beberapa perbaikan pada adat kebiasaan ini.

  1. Pembatasan-pembatasan
Perbaikan pertama yang dilakukan Islam ialah menetapkan pembatasan-pembatasan atasnya. Sebelum kedatangan Islam tidak ada batasan jumlah istri. Seorang pria boleh mempunyai ratusan istri, namun Islam menetapkan batas maksimum atas jumlahnya, dan seorang pria tidak diizinkan mempunyai lebih dari empat isteri.




  1. Keadilan
Perbaikan lainnya yang dilakukan Islam ialah menetapkan suatu syarat bhawa tidak boleh ada diskriminasi dalam keadaan bagaimanapun juga, antara para istri itu maupun anak-anak mereka. Al-Qur’an memerintahkan dengan sangat tegasnya: “. . .seandainya kamu takut tidak akan dapat belaku adil, maka (kawinilah) seoang saja . . . “ (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
Keadilan adalah kebajikan manusia yang paling luhur. Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut manusia untuk mencpai kekuatan moral yang paling tinggi. Rasulullah melaksanakan keadilan sebaik-baiknya terhadap semua istri beliau dan tidak pernah membeda-bedakan terhadap istri beliau yang mana pun, bahkan dalam keadaan sakit beliau yang berakhir dengan wafatnya, ketika beliau tidak kuat untuk bergerak ke sana ke mari, bertindak dengan keadilan yang penuh dan sempurna.

D.    Pandangan Mengenai Poligami

Mengenai poligami terdapat pro dan kontra mengenai hokum pelaksanaannya. Bahkan Syeikh Muhammad Abduh dengan sengit melarang poligami, beliau mengatakan bahwa poligami merupakan sumber penyebab kerusakan di Mesir. Dengan tegas beliau mengatakan bahwa tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok masih dipraktekkan secara luas.[10]
Akan tetapi mayoritas ulama memperbolehkan poligami. Bahkan tidak sedikit ulama yang melakukan praktek poligami. Poligami dalam Islam memang diperbolehkan dan tidak dilarang, asalkan dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Adil yang dimaksud ialah adil dalam pemberian nafkah, baik nafkah bathin ataupun nafkah lahir, kasih sayang, tempat tinggal, ataupun yang lain seperti yang diisyaratkan dalam poligami menurut Islam.
Beberapa penulis wanita Eropa bahkan mengisyaratkan diperbolehkannya poligami, seperti Anne Road menulis dalam surat kabar Stren Mail edisi 10 Mei 1901 sebagai berikut:
“Kesibukan gadis-gadis kita di rumah sebagai pelayan atau seperti pelayan itu lebih baik dan lebih ringan resikonya daripada bekerja di pabrik-pabrik yang akan mengotori kehormatan  hidupnya sepanjang masa. Alangkah indahnya, seandainya negara kita seperti negara Islam, rasa malu dan kesucian diri menopang pelayan dan budak menikmati hidup yang menyenangkan. Mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri. Sungguh, ironi bagi negara Inggris, membuat gadis-gadisnya cermin kehinaan akibat seringnya bergaul bebas dengan lelaki. Kenapa kita tidak berbuat agar mereka kembali bekerja sesuai dengan fitrah untuk menjaga kehormatannya?” [11]

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa penulis setuju akan poligami, dikarenakan sisi baik dari poligami yang mampu memberikan penopang bagi perempuan. Akan tetapi perempuan mana yang akan rela membagi suami yang dicintai untuk orang lain. Setiap manusia khususnya perempuan pasti ingin memiliki suami dan tidak akan pernah rela membaginya dengan orang lain.

E.     Hak Perempuan dalam Poligami

  1. Memiliki Rumah Sendiri
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al-Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu tumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya.

  1. Menyamakan Para Istri dalam Masalah Giliran
Setiap isteri harus mendapatkan jatah giliran yang sma. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi SAW memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru berhenti di rumah istri yang mendapat giliran itu.

3.      Tidak boleh keluar dari  rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan  tidak diibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambila malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

  1. Batasan Malam Pertama setelah Pernikahan
Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas Rahimahullahu’Anhu bahwa termasuk sunnah bila seorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginapn selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir istri-istri yang lain.

  1. Wajib Menyamakan Nafkah
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami. Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk istri-istrinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar/ditimbang karena terlalu sedikit,beliau tetap membaginya tangan pertangan.

  1. Undian Ketika Safar
Bila seorang suami hendak melakukan safar dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut jika suami membawa lebih dari satu istrinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan diantara mereka ketika tidak dalam keadaan safar.
  1. Tidak Wajib Menyamakan Cinta dan Jima’ Diantara Para Istri
Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ diantara para istrnya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil. Penulis Fiqh Sunnah menyarankan, hendaknya, seorang suami memenuhi kebutuhan jiwa istrinya sesuai kadar kemampuannya.[12]

F.     Perempuan dan Konsep Poligami

Sesungguhnya poligami adalah bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, karena pada dasarnya, tidak seorang perempuan pun yang rela untuk dimadu. Jika ada perempuan yang rela dimadu, maka hal tersebut tidak lepas dikarenakan dua hal; pertama, kedalaman cintanya terhadap sang suami, maka ia akan merasakan kesedihan yang amat mendalam dan sangat menyiksa dirinya. Dan yang kedua, untuk menjaga martabat keluarga.
Sudah menjadi fitrah perempuan untuk cenderung mendominasi atas hati suami. Karenanya, ketika seorang istri melihat suaminya berdampingang dengan istri yang lain, akan membakar emosi dan mengakibatkan kesakitan hati yang sangat luar biasa. Pada akhirnya menyulut api permusuhan dan meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan dan etika kemanusiaan yang seharusnya dijaga.[13]


DAFTAR PUSTAKA

Rasyid Ridha, Muhammad.1993. Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan Wanita. Surabaya: Mathba’ah al-Manar
Mutahhari, Martezi. 1985. Wanita Dan Hak-Haknya Dalam Islam. Bandung : Pustaka-Perpustakaan Salman ITB
Aj-Jahrani, Musfir. 1996. Poligami Dalam Berbagai Persepsi. Jakarta : Gema Insani Press


[1] http://grelovejogja.wordpress.com/2006/12/06/hak-hak-istri-dalam-poligami/
[2] Ibid., h. 79
[3] Umar Ridha Kahalah, Az-Zawaj, Juz, h. 98-100
[4] Said Al-Jundul, Al-Junsin Na’im fi . . .  Ilam, h. 69
[5] Muhammad Abdhan Urfan, Haququl Mar’ah fi Al-Islam, h. 94
[6] L’Esprit des Lois, Jilid I, h. 271
[7] Ibid., h. 271
[8] Ibid., h. 280
[9] Ibid, h. 289
[10] Ibid. hlm.81
[11] Muhammad Rasyid Ridha, Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan Wanita, (Surabaya:Mathba’ah al Manar, 1993), hlm:87

Artikel Terkait

0   komentar

Post a Comment

Cancel Reply