BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillah, pemakalah mengucapkan
rasa syukur kepada Allah. Segala puji bagi Allah yang dengan pertolongan-Nya
akhirnya makalah ini bisa terselesaikan dan mudah-mudahan dapat berguna untuk
pembelajaran bagi para mahasiswa.
Dalam makalah ini membahas tentang
jual beli, di mana jual beli bagian dari muamalat yang masih tetap eksis, baik
sejak zaman para Nabi hingga masa sekarang ataupun masa yang akan datang.
Untuk lebih detailnya marilah kita
kaji makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut
bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya
menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).
B.
Rukun Jual Beli
1.
Penjual
2.
Pembeli
3.
Barang yang dijual
4.
Harga
5.
Ucapan ijab qabul
C.
Syarat Penjual dan Pembeli
1.
Berakal; tidak sah jual beli orang gila
2.
Dengan kehendaknya sendiri; tidak sah orang yang dipaksa dengan tidak benar
3.
Keadaannya tidak mubazzir (pemboros) karena harta orang yang mubazzir itu
ditangan walinya
4.
Baligh; tidak sah jual beli anak-anak
D.
Syarat Barang dan Harga
1.
Suci barangnya; tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi
dan lain-lainnya yang najis
2.
Ada manfaatnya; jual beli yang ada manfaatnya sah, sedang yang tidak ada
manfaatnya tidak sah
3.
Dapat dikuasai; maka tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya
jual-beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan ditangkap
4.
Milik sendiri, atau barang yang sudah dikuasakannya; tidak sah menjual
barang orang lain dengan tidak seizinnya
5.
Mestilah diketahui kadar barang/benda dan harga itu, begitu juga jenis dan
sifatnya
E.
Syarat Ijab Qabul (Sighat)
Ijab artinya
perkataan penjual, misalnya: “Saya jual barang ini sekian”, sedang qabul
artinya kata si pembeli, misalnya; “Saya terima (saya beli) dengan harga
sekian”.
Syarat sah ijab qabul
1.
Jangan ada yang membatas/memisahkan, misalnya pembeli diam saja setelah si
penjual menyatakan ijab atau sebaliknya
2.
Jangan disela dengan kata-kata lain
3.
Jangan berta’liq, yaitu seperti kata penjual: “Aku jual sepeda motor ini
pada saudara dengan harga Rp. 110.000,- setelah kupakai sebulan lagi
4.
Jangan pula memakai jangka waktu, yakni seperti katanya: “Aku jual sepeda
ini dengan harga Rp. 10.000,- kepada saudara dalam waktu sebulan/seminggu dan
sebagainya.[1]
F.
Macam-macam Jual-Beli
1.
Jual beli yang menjurus kepada riba
Di sini terdapat
sesuatu yang terjadi antara dua orang yang berjual beli, yaitu jika salah
satunya membatalkan yang lain dengan penambahan atau pengurangan. Atau jika
salah satunya membeli sesuatu yang telah dijual kepadanya dengan lebih atau
kurang dari yang lain. Dalam hal ini, antara keduanya dapat terjadi jual beli ribawi
tanpa disengaja. Misalnya, seseorang menjual suatu barang kepada orang lain
dengan harga sepuluh dinar tunai. Kemudian orang tersebut membelinya dengan
harga dua puluh dinar dengan pembayaran kemudian. Jika penjualan kedua ini
dikaitkan dengan penjualan pertama, maka yang terjadi si penjual ini memberikan
barang seharga sepuluh dinar dengan memperoleh imbalan sebanyak dua puluh dinar
dengan pembayaran kemudian. Cara seperti ini dikenal dengan nama jual beli
bertempo (pembayaran dilakukan kemudian).
Pembelian makanan dengan harga
kemudian
Termasuk dalam
persoalan tersebut adalah silang pendapat fuqaha berkenaan dengan orang
yang memesan makanan dengan harga tertentu. Ketika sampai masanya, ternyata
pada si penjual tidak tersedia makanan yang bisa diserahkan kepada si pembeli
dengan harga yang dibayarnya (secara tunai) sebagai pengganti makanan yang
menjadi tanggungannya.
Menurut Syafi’i,
perbuatan seperti itu dibolehkan dan ia menganggap tidak ada perbedaan, baik si
penjual membeli makanan dari si pembeli yang seharusnya menerima makanan
ataupun dari orang lain.
Sedang Malik
melarang perbuatan tersebut dan menganggap sebagai jalan menuju penjualan
makanan sebelum sempurna karena penjual mengembalikan sesuatu makanan yang
menjadi tanggungannya kepada si pembeli. Jadi, seolah-olah, ia menjual makanan
tersebut sebelum selesai.[2]
Menjual makanan sebelum menerimanya
Tentang menjual
makanan sebelum menerimanya, para ulama bersepakat melarangnya kecuali pendapat
yang diriwayatkan dari Usman al-Batti. Kesepakatan pendapat atas pelarangannya
itu disebabkan karena sahnya larangan tersebut dari Rasulullah Saw, dari hadits
Malik dari Nafi dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ (اخرجه الد
“Barang siapa membeli makanan maka
hendaklah ia tidak menjualnya hingga ia menerimanya” (HR. Ad-Darimi).
2.
Jual Beli Tersamar
Yakni jual beli
yang diharamkan karena penipuan (al-gharar). Penipuan yang terdapat pada barang
yang dijual dari segi ketidaktahuan, ada beberapa segi: dari segi ketidaktahuan
terhadap barang yang diakadkan, atau penentuan akad itu sendiri, atau dari segi
ketidaktahuan terhadap nilai harga dan barang yang dijual, atau terhadap masa
pembayaran harga, jika ada perjanjian masa pembayaran, atau dari segi
ketidaktahuan tentang wujud harga atau ketidakmungkinan menguasainya yang
berpangkal keada ketidakmungkinan menyerahkannya, atau dari segi ketidaktahuan
tentang keselamatan harga, yakni kelangsungannya.
Syariat
mengetengahkan hal-hal yang mengandung unsur gharar ini. Bersama ini sebagai
kebiasaan yang dilakukan orang-orang jahiliyah dalam masalah ini:
a.
Larangan menjualbelikan barang dengan cara hashah
Orang jahiliyah
dahulu melakukan akad jual beli tanah yang tidak jelas luasnya. Mereka
melemparkan hashah (batu kecil) pada tempat akhir di mana batu jatuh,
itu tanah yang dijual.
b.
Larangan tebak selam
Orang-orang
jahiliyah juga melakukan jual beli dengan cara menyelam. Barang yang ditemukan
di laut waktu menyelam itulah yang iperjual-belikan. Mereka biasa melakukan
akad si pembeli menyerahkan harga/bayaran sekalipun tak mendapat apa-apa dan
terkadang si penjual menyerahkan barang yang ditemukan sekalipun jumlah barang
tersebut mencapai beberapa kali lipat dari harga yang harus ia terima.[3]
c.
Jual beli Nitaj
Yaitu akad untuk
hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil. Diantaranya menjualbelikan susu
yang masih berada di mammae (kantong susu)-Nya.
d.
Jual beli Mulasanah
Yaitu dengan cara
si penjual dan si pembeli melamas (menyentuh) baju salah seorang mereka
(saling menyentuh) atau barangnya. Setelah itu jual beli dilaksanakan tanpa
dikethaui keadaannya atau saling ridha.
e.
Jual beli Munabazah
Yakni kedua belah
pihak saling mencela barang yang ada pada mereka ini dan dijadikan dasar jual
beli, yang tak saling ridha.
f.
Jual beli Muhaqalah
Muhaqalah ialah
jual beli tanaman dengan takaran makanan yang dikenal.
g.
Jual beli muzabanah
Muzabanah ialah
jual beli buah kurma yang masih di pohonnya dengan kurma.
h.
Jual beli
mukhadharah
Mukhadharah ialah
jual beli kurma hijau belum nampak mutu kebaikannya (jon)
i.
Jual beli
bulu domba di tubuh domba hidup sebelum dipotong.
j.
Jual beli
susu padat yang masih berada di susu.
k.
Jual bali
Habalul Ijabah (anak unta yang masih berada dalam perut). Di dalam shahih
Bukhari Muslim dikatakan : Dahulu orang-orang jahiliyah melakukan jual beli
domba potong kepada Habalul Habalah.
Habalul Habalah ialah , bahwa unta
betina mengandung diprutnya kemudian diambil yang keluar. Rasulullah kemudian
mencegah jual beli ini karena mengandung gharrar, ketidakjelasan yang
diakadkan.
3.
Jual Beli
yang Dilarang karena Merugikan atau Menipu (Curang)
Riwayat yang didengar berkaitan
dengan persoalan ini ialah larangan Nabi SAW, tentang penjualan seseorang atas
penjualan orang lain, penawaran atas penawaran orang lain, mencegat dagangan
orang-orang yang berkendaraan (dan membelinya sebelum sampai ke kota),
penjualan orang kota atas orang desa, serta larangan mengelabui.
a.
Jual Beli atas Jual Bali
Orang Lain
Dalam merinci hadist-hadist tersebut,
para ulama berbeda pendapat walaupun tidak berjauhan.
Sabda Nabi SAW yang berbunyi :
لاَ
يَبْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى يَبْعِ بَعْضٍ (اخرجه البخا رى ومسلم)
“Janganlah sebagian dari kamu menjual
(sesuatu) atas penjualan orang lain” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Malik menafsirkan sama dengan maksud
larangan Nabi SAW, agar seseorang tidak mengadakan penawaran atas tawaran orang
lain. Yakni dalam keadaan si penjual sudan cenderung kepada penawar dan sedikit
lagi dicapai kesepakatan antara keduanya. Misalnya, memilih emas. Syarat
menanggung cacat, atau cuci tangan dari cacat.
Dalam memahami hadist tersebut, Abu
Hanifah juga mengemukakan tafsiran yang sama dengan Malik.
Syafi’I berpendapat bahwa maksud
hadist tersebut ialah dalam hal jual beli sesudah terjadi lisan, orang lain
untuk menawarkan barangnya yang lebih baik. Hal ini didasarkan atas pendapatnya
bahwa terjadinya jual beli adalah dengan berpisahnya kedua belah pihak (penjual
dan pembeli)
b.
Mencegat
Barang Dagangan di Luar Kota
Para Fuqaha berselisih pendapat
mengenai penngertian larangan Nabi SAW untuk mencegat (dengan maksud memborong)
barang-barang dagangan orang-orang berkendaraan yang akan menjualnya ke kota.
Malik berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan larangan tersebut adalah orang-orang pasar, agar si pencegat tidak
memonopoli pembelian dagangan tersebut dengan harga murah tanpa orang-orang
pasar lainnya. Larangan ini berlaku manakala pencegatan itu dekat (dengan
kota). Tetapi jika tampat tersebut jauh (dari kota), maka tidak ada larangan.
Dan menurut mazhab Maliki, ukuran dekat adalah sejauh enam mil.
Sedang menurut Syafi’I, larangan
tersebut dimaksudkan untuk menjaga si penjual agar tidak tertipu oleh si
pencegat dagangan karena tidak mengetahui harga di kota. Kata Syafi’i, “ Jika
jula beli seperti itu terjadi, maka pemilik dagangan boleh memilih sesukanya
antara melanjutkan jual beli atau menolaknya.
Pendapat Syafi’i tersebut didaarkan
atas nash dalam hadist Abu Hurairah r.a. yang sahih dari Rasulullah SAW :
لاَتَتَلقُّوْا الْجَلَبَ مَهَنْ
تَتَلَقًّى مِنْهُ شَيْئًا فَاشْتَرَاهُ فَصَاحِبُهُ بِالْخِيَارِ اِذَا اَتَى
السُّوْقَ (الخر جهو مسلم وابوداوود)
“Janganlah kamu mencegat barang dagangan. Barang
siapa mencegatnya, kemudian membelinya, maka pemilik barang dagangan tersebut
boleh memilih (antara melanjutkan jual beli atau tidak) manakala ia telah
sampai di pasar“ (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
c.
Jual Beli
dengan Mengecoh
Tentang larangan Nabi SAW. Terhadap
jual beli kecohan (najasy), para ulama sepakat melarangnya. Kecohan yang
dimaksud adalah apabila seseorang menambah harga suatu barang, padahal tidak
ada keinginan untuk membelinya. Perbuatan itu dimaksudkan untuk menguntungkan
penjual dan merugikan pembeli.
Menurut Malik, tipuan tidak ubahnya
cacat (aib). Sedang bagi pembeli boleh memilih. Jika ingin mengembalikan, ia
boleh mengembalikan. Dan jika ingin menahan , ia boleh menahannya.
Sedang Abu Hanifah dan Syafi’I
berpendapat bahwa jika jual beli itu terjadi, maka berdosa. Tetapi jual beli
itu dibolehkan.
Pendapat jumhur ulama dalam hal ini
adalah, larangan tersebut dikeluarkan karena adanya suatu hal pada barang yang
dilarang yang mengandung kebatalan, seperti melarang riba dan penipuan. Jika
perintah datang karena suatu hal yang di luar, maka tidak mengandung kebatalan.
4.
Larang
Jual Beli Pada Waktu Ibadah
Dalam syarak, larangan tersebut hanya
terjadi pada saat datang kewajiban menunaikan shalat jumat, firman Allah :
“ Apabila diseru untuk menunaikan
shalat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan
tinggalah jual beli.” (Q.S Al-Jumuah:9)
Masalah ini telah menjadi ijma’ ulama
yakni larangan berjual beli pada saat azan sudah diserukan sesudah tergelincirnya
matahari, ketika itu imam sudah berada diatas mimbar.
Tentang siapa yang menanggung
pembatalan tersebut, Malik berpendapat bahwa tanggung jawab tersebut dibebankan
pada orang yang berkewajiban menunaikan shalat jumat, bukan atas orang yang
tidak berkewajiban.
Aturan-aturan dasar golongan Zhahili
menghendaki agar setiap pembelian dibatalkan.[4]
KESIMPULAN
Jual beli secara lughowi adalah saling menukar.
Menurut syariah ialah pertukaran harta atas dasar saling rela.
Rukun Jual Beli
1.
Penjual
2.
Pembeli
3.
Barang yang dijual
4.
Harga
5.
Ucapan ijab qabul
Syarat Penjual dan Pembeli
1.
Berakal; tidak sah jual beli orang gila
2.
Dengan kehendaknya sendiri; tidak sah orang yang dipaksa dengan tidak benar
3.
Keadaannya tidak mubazzir (pemboros) karena harta orang yang mubazzir itu
ditangan walinya
Baligh; tidak sah jual
beli anak-anak
www.kiostiket.com
This type of clever work and coverage! Keep up the excellent works guys I've included
you guys to my own blogroll.
Here is my homepage: magento themes