A.
Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad
Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (10 M) di kota Thus, Kurasan wilayah
Persia (Iran).[1]
Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul
Islam), “Hiasan Agama” (zainuddim), “Samudra yang menghangatkan”
(Bahran Mugriq), dan lain-lain. Masa mudanya bertepatan dengan bermunculannya
para cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai alit. Kehidupan
saat itu menunjukkan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan
kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegak di sana. Sarana kegidupan mudah
didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup
para penuntut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat.[2]
Sebelum ayahnya meninggal dunia,
ketika al-Ghazali masih kecil, beliau dan saudaranya telah diserahkan kepada
seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, beliau mempelajari ilmu
fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur,
dekat Thus. Di sini beliau belajar kepada imam al-Haramain yang mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan. Di sini pulalah beliau dengan amat tekun memulai
memperdalam berbagai ilmu: ilmu logika, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu lain. Lama
sesudah itu, beliau pindah ke Baghdad, kota pusat kebudayaan Islam pada masa
itu. Di sini beliau mulai mengajarkan ilmunya. Namanya mulai termasyur dan
banyak orang tertarik kepadanya.
Kebesaran jiwa yang tumbuh dalam
pribadi al-Ghazali mendapat perhatian dari perdana menteri Nizham al-Mulk yang
pada masa itu memerintah di dinasti sultan-sultan Saljuk. Atas kebiajaksanaan
perdana menteri itu, al-Ghazali diangkat menjadi guru besar pada universitas
Nizhamiyah, yaitu pada tahun 484 H.[3]
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi
rektor di universitas Nizhamiyah setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani,
krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis m’rifat. Secara diam-diam
al-Ghazali meninggalkan Bahgdad menuju Syam.
Al-Ghazali wafat pada hari Senin
tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, atau 18 Desember 1111 M, dalam usia ± 55
tahun, di desa Tabaran dekat Thus, dan dimakamkan di kota kelahirannya.[4]
Adapun karya-karya al-Ghazali,
antara lain:
1.
Di bidang filsafat
a. Maqashidu falasifah
b. Tahafut Falasifah
c. Al-Ma’arifatul Aqliyah
2.
Di bidang agama
a. Ihya’ Ulumuddin
b. Al-Munaidz min adh-dhalal
c. Minhaj ul abidin
3.
Dalam bidang kenegaraan
a. Mustazh adh dhairi
b. Sirrul alamain
c. Suluk us Sulthanah
d. Nasihat et muluk.
Itulah karya-karya al-Ghazali yang
saat ini masih bisa kita simak.[5]
B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Terhadap bidang pengajaran dan
pendidikan al-Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya. Yang mendasari
pemikirannya tentang kedua bidang ini ialah analisisnya terhadap manusia.
Manusia, menurut al-Ghazali dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling
terhomat diantara sekian banyak makhluk dipermukaan bumi dan langit, karena
pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya.[6]
Ø
Keutamaan Ilmu
Allah menerangkan tentang kedudukan orang yang berilmu
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Mujadillah : 11 yang artinya:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.’[7]
Ø
Keutamaan Belajar
َلاَ
نْ تَغْدُ وَفَتَتَعَلَّمُ بَا بًا مِنَ اللم خَيْرٌ مِنْ اَنْ تُصَلِّى مِا ئَةَ
رَكْعَةٍ
Artinya
: “Sungguh
kamu pergi lalu kamu belajar satu bab dari ilmu itu lebih baik daripada kamu
shalat 100 rakaat.” (H.R.
Ibnu Abdil Bair dari Hadits Abu Dzarr).[8]
Ø
Keutamaan Mengajar
Firman Allah dalam
surat Ali Imron: 187 menjelaskan keutamaan mengajar dan mewajibkan untuk
mengajar.
“Dan (ingatlah) muka Allah mengambil janji dari
orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi
kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.”
Sabda Nabi yang menjelaskan haramnya menyembunyikan
ilmu:
“Barang siapa yang mengetahui suatu ilmu lalu ia
menyembunyikannya, maka pada hari kiamat Allah mengenakan kendali kepadanya
dengan kendali dari api.” [9]
1.
Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Jika pendidikan dapat dipandang sebagai
aplikasi pemikiran filsafati dan seorang filosof dan seorang bergerak selaras
dengan jalan dan dasar pemikirannya, sistem pendidikan al-Ghazali pun sejalan
dengan dasar pemikiran filsafatnya yang mengarah kepada tujuan yang jelas.
Dengan demikian system pendidikan haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan
kepada tujuan haruslah menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah
mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan,
mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan
akhirat.
Al-Ghazali berkata :
“Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah
mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan
diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua
adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara
naluri.”
Dari
kata-kata tersebut dapat dipahami bahwa menurut al-Ghazali tujuan pendidikan
dapat dibagi menjadi 2, yaitu;
a. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan pendidikan jangka panjang
ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus
mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan
pencipta alam.
Manusia dapat mendekatkan diri
kepada Allah adalah dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Untuk mendekatkan
diri kepada Allah manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain.
b. Tujuan Jangka Pendek
Menurut al-Ghazali, tujuan jangka
pendek ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, baik
yang termasuk fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Oleh karena itu, pengiriman
para pelajar dan mahasiswa ke negara lain untuk memperoleh spesifikasi
ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan negara tersebut, menurut konsep ini, tepat
sekali.[10]
2.
Materi Pendidikan Menurut
Al-Ghazali
Kajian
terhadap klasifikasi ilmu al-Ghazali didasarkan atas dua sumber utama: The
Book of Knowledge (kitab ilmu) dari ihya’ ulumuddin dan Al-Risalah
Al-Ladunyah. Dua karya yang lain juga digunakan sebagai sumber penunjang, yaitu
The Jewel of The Al-Qur’an (Mutiara Al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal
(Timbangan Amal). Al-Ghazali menyebut sistem klasifikasi yang berbeda:
a.
Pembagian ilmu-ilmu menjadi
bagian teoritis dan praktis.
Bagian teoritis menjadikan
keadaan-keadaan wujud diketahui sebagaimana adanya, misalnya ilmu filsafat.
Bagian praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia, bertujuan mencari
aktivitas-aktivitas manusia yang kondusif bagi kesejahteraan manusia dalam
kehidupan ini dan kehidupan nanti, misalnya: ilmu keguruan dan tasawuf.
b. Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan menjadi pengetahuan
yang dihadirkan (Khudhuri) dan pengatahuan yang dicapai (khusshuli).
Di antarnya adalah ilmu laduni
(pengetahuan dari yang tinggi) dan ilmu al-mukasyafah (pegetahuan tentang
penyingkapan misteri-misteri illahi). Pengetahuan yang dicapai atau pengetahuan
perolehan bersifat tak langsung, rasional, logis dan diskursif.
Pengetahuan yang dihadirkan lebih
unggul dari pada pengetahuan yang dicapai karena terbatas dari kesalahan dan
keraguan. Pengathuan kategori ini juga memberikan kepastian tertinggi mengenai
kebenaran-kebenaran spiritual. Pengetahuan indrawi memang bersifat langsung
juga dan serta-merta, tetapi hanya berlaku pada dunia fisik.
c. Pembagian atas ilmu-ilmu religius (syari’ah) dan intelektual
(‘aqliyah)
Ilmu-ilmu religius intelektual
(al-‘ulum al-syari’ah) merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tak
hadir pada mereka melalui intelek mausia semata. Pembagian pengetahuan menjadi
religius dan intelektual, dalam pengertian konsekuensi logis dari konsepsi para
mutakallimin tentang hubungan antara wahyu dan akal. Wahyu dan akal dipahami
sebagai sumber pengetahuan yang saling eksklusif satu terhadap lainnya.
Ilmu-ilmu religuis dan intelektual saling melengkapi dan tidak pernah saling
bertentangan. Sumber pengetahuan religius adalah wahyu, sumber pengetahuan
intelektual adalah akal.
d. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fadhu ‘ain (wajib atas setiap
individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat)[11]
Fardhu ‘ain yang wajib dipelajari
oleh setiap individu. Ia memberi contoh kelompok ini ialah ilmu agama dan
cabang-cabangnya. Fardhu kifayah ilmu kifayah ilmu ini tidak diwajibkan kepada
setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya.
Diantara ilmu pengetahuan yang tergolong fardhu kifayah ini adalah ilmu
kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pengobatan, dll.[12]
e. Pembagian ilmu menjadi ilmu mahmudah (terpuji) dan ilmu
madzmumah (tercela)
Ilmu pengetahuan yang terpuji,
baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih terpuji. Seperti ilmu
pegetahuan agama dan ilmu tentang beribadah.[13]
Ilmu yang tercela, ilmu ini tidak
akan ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun di akhrat, seperti sihir,
azimat, nujum, dll.
Selain itu, ada pula ilmu yang
terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat
membawa kepada kagoncangan aman dan meniadakan Tuhan, seperti filsafat.[14]
Adapun klasifikasi ilmu al-Ghazali
yang paling menonjol yaitu ilmu religius dan intelektual.
-
Ilmu religius
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-Ushul), seperti: ilmu
tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu tentang akhirat atau eskatologi, dll.
b. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’), seperti: ilmu tentang
kewajiban manusia terhadap Tuhan, ilmu tentang kewajiban manusia kepada
masyarakat dan ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri.
-
Ilmu-ilmu Intelektual
seperti, matematika, logika fisika dan ilmu alam dll.[15]
Banyak orang menganggap bahwa
kemunduran Islam salah satu penyebab adalah terpengaruh oleh pemikiran
al-Ghazali yang lebih menekankan pada pendekatan diri kepada Allah SWT. Mereka
salah kaprah dalam memahami pemikiran al-Ghazali. Umat Islam hanya melihat
pembagian ilmu itu menjadi fardhu kifayah dan fardhu ‘ain, tidak melihat
pengklasifikasian ilmu yang lainnya. Dan perlu diketahui, bahwa al-Ghazali
menekankan pada pendekatan diri kepada Allah setelah beliau melalang buana
mencari ilmu dan setelah beliau memperoleh ilmu yang cukup banyak. Dan ilmu
yang beliau ciptakan adalah merupakan perkawinan multi disiplin ilmu dari
berbagai ilmu yang ia miliki selama melalang buana mencari ilmu dan setelah
beliau memperoleh ilmu yang cukup banyak dan ilmu yang beliau ciptakan adalah
merupakan perkawinan multi disiplin ilmu dari berbagai ilmu yang ia miliki
selama melalangbuana Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar “perkawinan” multi
aspek disiplin ilmu seperti kalam, tasawuf, falsafah dan fikih. Kehidupannya
penuh dinamika yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan
spiritual. Akan tetapi dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah
pengajaran sufistik yang menekankan aspek akhlakul karimah.
3.
Metode dan Media Pendidikan
Menurut Al-Ghazali
Mengenai
metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran menurut al-Ghazali
harus dilihat secara psikologis, sosiologis maupun pragmatis dalam rangka
keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton,
demikian pula dengan media.
Perihal
kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media
pengajaran. Untuk metode, misalnya menggunakan metode pendidikan praktek
kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan
dan nasihat. Sedangkan media dalam pengajaran beliau meyetujui adanya pujian
dan hukuman, di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung
terwujudnya akhlak yang mulia.[16]
Selain
itu, al-Ghazali juga membagi metode pendidikan menjadi dua metode, yaitu:
Ø
Metode khusus pendidikan
agama
Metode pendidikan agama menurut
al-Ghazali, pada peindipnya dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan
dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan
keterangan yang menunjang penguatan akidah.
Ø
Metode khusus pendidikan
akhlak
Pendidikan apapun, menurut
al-Ghazali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Tentang metode
praktis dan metode khusus membentuk akhlak mulia, menurut al-Ghazali adalah
bahwa untuk mengadakan perubahan akhlak tercela adalah dengan menyuruh untuk
mengadakan perbuatan yang sebaliknya.[17]
4.
Etika Guru dan Murid
Menurut Al-Ghzali
Al-Ghazali
menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik, sebagai berikut:
a. Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak
seperti orang tua menyayangi anaknya sendiri.
b. Mengikuti teladan Rasulullan SAW, yaitu tidak meminta upah.
c. Tidak meninggalkan nasihat, seperti melarang anak didiknya
meloncat pada tingkatan sebelum menguasai hukum-hukum yang jelas.
d. Menasihati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak
secara terang-terangan menyidir.[18]
e. Hendaknya pendidik tidak fanatik terhadap bidang studi yanga
diasuhnya lalu mencela bidang studi yang diasuh pendidik lain.
f. Hendaknya pendidik memperhatikan perkembangan berfikir peserta
didik agar dapat menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan berpikirnya.
g. Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya dan tidak sebaliknya, di
mana perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang diajarkan kepada peserta didik.[19]
Selaras
dengan konsepnya tentang belajar dan tujuan pendidikannya, belajar merupakan
salah satu bagian dari ibadah gunamencapai derajat seorang hamba yang tetap
dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Selanjutya syarat yang mendasar bagi peserta
didik diantaranya:
a. Peserta didik harus memuliakan pendidikan dan bersikap rendah
hati atau tidak takabur.
b. Peserta didik harus merasa satu banguna dengan peserta didik
lainnya. Dan sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi
dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.
c. Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai
mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
d. Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang
bermanfaat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya
sunguh-sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tersebut
tercapai.[20]
e. Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak.
f. Mengurangu hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
g. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakannya
yang tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan segala urusannya
kepadanya.
h. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu
akhirat.[21]
C. Analisis
1. Relevansi pemikiran al-ghazali tentang pendidikan dengan
pendidikan dewasa ini
Inti masalah yang dihadapi umat
Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah
memecahkan masalah tersebut. Hal ini dapat dipahami dari satu segi tujuan
diciptakannya manusia ialah untuk menjadi “Khalifah fi al-ardli”. Dalam diri
manusia terdapat berbagai potensi sebagai modal kekhalifahan. Potensi-potensi
tersebut akan bermanfaat hanya jika digali melalui pendidikan, karena
pendidikan merupakan usaha penggalian dan pengembangan fitrah manusia.
Munculnya filsafat pragmatisme
telah mengubah arah orientasi pendidikan. Filsafat pragmatisme mengabaikan
konsep-konsep kebenaran dan menggantikanya dengan kegunaan dan pengaruh itu
berjalan terus, akhirnya terwujudlah manusia-manusia yang menghancurkan konsep
keagungan dan kemuliaan diri manusia sendiri. Terjadilah ketidakseimbangan
hubungan manusia dengan Tuhan dan alam.
Proses belajar mengajar di sana
tidak dihubungkan dengan pelajaran agama, belajar mengajar dianggap sebagai
urusan manusia semata, tidak membahas kehidupan setelah mati, berorientasi pada
terwujudnya kesejateraan hidup secara maksimal dengan mengeksploitasi SDA.
Memang, sistem sekuler di Barat
telah mampu menjawab tantangan-tantangan yang bersifat pemenuhan kebutuhan
manusia di bidang materi, didahului dengan pengembangan pengetahuan untuk
mencapai keunggulan sains dan teknologi. Akan tetapi, di balik itu sebenarnya
telah membawa krisis kepribadian kahancuran manusia.
Tidak ada jalan lain untuk
mengatasi tantangan tersebut kecuali kembali kepada sistem pendidikan yang
memlperhatikan fitrah manusia secara utuh, yakni sistem pedidikan Islam yang
tidak mengenal pendidikan agama dan umum tanpa mengaitkan keduanya. Tidak ada
istilah ilmu akliyah tanpa mengikutsertakan syari’ah, tidak mengembangkan
kognitif kecuali afektif dan psikomotorik sekaligus.
Oleh karena itu, jika banyak
disinyalir dan telah nyata dihadapan kita akan terjadinya dualisme sistem
pendidikan, sistem pendidikan, sistem Islam dan sistem sekuler yang telah ada
akan merusak dan menghancurkan nilai-nilai akliyah.
Terhadap tantangan-tantangan yang
sedang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini ternyata konsep pendidikan
al-Ghazali mampu menjawabnya. Bukti konkret dari jawaban itu adalah ihya’
yang menjadi pokok kajian dalam makalah ini, yang tampak sekali adanya pemaduan
antara kedua sistem tersebut dari sana.
Al-ghazali yang mengaktulisasikan
evolusi kurikulum pendidikan di dunia muslim dan yang memantapkannya.
Al-Ghazali merupakan penemu puncak sintesa antara iman, intelektual atau
filsafat, empirik, mistik atau sufisme, dalam buku monumentalnya, Ihya’
Ulumuddin.
Tampilnya pemikiran al-Ghazali
tentang pendidikan dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah karena aktualisasi
konsepnya, kejelasan orientasi sistemnya dan secara umum karena pemikirannya
yang sesuai dengan konteks sosio kultural. Penampilannya di sini merupakan
usaha pengubahan eksistensi muslim yang saat ini telah dirusak hubungannya
dengan sejarah masa lampaunya, juga keinginannya yang alamiah untuk mempelajari
warisan para leluhurnya yang telah dihalangi oleh Barat.
2. Kritik terhadap pemikiran al-Ghazali
Salah satu etika seorang murid,
sebagaimana telah dicantumkan dari makalah, al-Ghazali menyebutkan bahwa:
peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat
menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
Kritik kami, mempelajari berbagai
mazhab itu justru penting karena dengan kita mempelajari berbagai mazhab, tidak
akan terjadi fanatisme mazhab, di mana sekelompok orang yang bermazhab tertentu
merasa mazhabnyalah yang paling benar, dan menganggap mazhab lain itu salah.
realita yang ada sekarang, benyak kita jumpai sekelompok orang yang terlalu
fanatik terhadap madzhabnya, dan akhirnya menimbulkan perselisihan bahkan
ironis lagi terjadi percekcokan antar penganut madzhab yang satu dengan yang
lain.
hal tersebut, salah satu faktornya
yaitu karena ketidaktahuan seseorang atas hal–hal yang melatarbelakangi
terjadinya / lahirnya madzhab-madzhab . Untuk menghindari hal tersebut salah
satu caranya menurut kami dalah mempelajari madzhab – madzhab tersebut hanya
untuk sekedar kita mengetahuinya, agar tidak terlalau fanatisme terhadap
madzhab yang dianut, dan toleransi antar penganut madzhab bias tetap terjalin,
karena pada dasarnya, perbedaan madzhab tersebut terjadi karena ada hal – hal
yang berbeda dalam pengambila atau memahamisuatu dasar hokum yang diambil dan
perbedaan pada uru’iyah memang harus aa karena itu merupakan sunnatullah.
D. Penutup
dari pembahasan makalah diatas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya
sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap. atau bisa pula diartikan, bahwa pendidikan
adalah proses memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk isan kamil untuk
menjadi khalifah di bumi dan adanya pendidikan ii diharapkan manusia mampu
mencapai tujuan hidupnya didunia dan akhirat.
aapun
cirri khas sisitem pendidikannya al – Ghazali sebenarnya terletak pada
pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.
Daftar Pustaka
al–Ghazali. 2000. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Terjemahan Irwan
Kurniawan. Bandung : Mizan
Al – Jauhari, Imam Khanafi.2006. Filsafat islam. Pekalongan ; STAIN
Press.
Dasoeki, Thawil akhyar.1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang
: Dina Utama
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Jakarta: Quantum Teaching.
Rusn, Abiding Ibnu. 1998. Pemikiran Al – Ghazali Tentang Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sholehudin, Ra. Sugeng. 2006. Teori Dan Model Kepemimpinan Dalam
Pendidikan Islam. Pekalongan : STAIN Press
Soleh, Achmad Khudori.1998. Kegelisahan Al-Ghazali : Sebuah
Otobiografi Intelektual. Bandung: Pustaka Hidayah.
Zuhri, Moh. 1990. Ihya’ Ulumuddin jilid I. Semarang: CV Asy – Syifa’
[1] Achmad
Khudori Soleh, Kegelisahan al-Ghazali: Sebuah Otobiorafi Intelektual (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998), h. 1
[2] Abidin
Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 9-10
[3]
Akhmad Khudori Soleh, op.cit., h. 9-10
[4]
Abidin Ibnu Rusn, op.cit., h. 12
[5]
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina
Utama, 1993), h. 55-62
[6] Abidin
Ibnu Rusn, op.cit., h. 41
[7] Moh.
Zuhri, Ihya’ Ulumuddin, Jilid I (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990), h. 9
[10]
Abdin Ibnu Rusn, op.cit., h. 56-60
[11]
Imam Khanafie al-Jauharie, Filsafat Islam (Pekalongan: STAIN Press,
2006), h. 84-86
[12]
H. Ramayulis dan H. Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta:
Quantum Teaching, 2005). h. 8-9.
[13] Ibid,
h. 8
[14] M.
Sugeng Sholehuddin, Teori dan Model Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan:
STAIN Press, 2006) h. 53
[15] Imam
Khanafie al-Jauhari, op.cit., h. 86-87
[16] H.
Rama Yulis dan H. Syamsul Nizar, op.cit., h. 13-14
[17] Abidin
Ibnu Rusn, op.cit, h. 99-101
[18] Al-Ghazali,
Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terjemahan oleh Irwan Kurniawan, (Bandung:
Mizan, 2000), h. 36-37
[19]
H. Ramayulis dan H. Samsul Nizar, op.cit., h. 11-12
[20] Ibid,
h. 11-12
[21] Al-Ghazali, op.cit., h. 33-35
0 komentar
Post a Comment